Larangan mengikuti keinginan orang-orang kafir dan munafik
(Kajian tafsir surah Al-Ahzab : 1-3)
بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ ٱتَّقِ ٱللَّهَ وَلَا تُطِعِ ٱلْكَٰفِرِينَ وَٱلْمُنَٰفِقِينَ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Ahzab : 1)
Ayat ini mengandung perintah kepada Nabi Muhammad saw. untuk bertakwa kepada Allah swt. Nabi menjadi orang pertama yang diperintahkan untuk bertakwa karena |Beliau adalah orang yang ditugaskan untuk menyampaikan risalah agama Islam. Maka Nabi harus menjadi orang yang terdepan dalam menjalankan ketakwaan, sehingga umat yang diseru nanti akan dengan mudah untuk menerima apa yang beliau sampaikan. Seandainya Nabi sebagai orang yang mengajak kepada kebaikan kepada umat manusia tidak menjadi contoh dalam ketakwaan maka bagaimana mereka akan mau mendengarkan kata-kata beliau?.
Ini juga bisa menjadi pelajaran bagi kita yang hidup saat ini. Karena sejatinya perintah Allah yang ditunjukkan kepada Nabi-Nya adalah perintah kepada umatnya, sehingga ketakwaan kepada Allah juga merupakan kewajiban kita sebagai Umat Islam. Ketika kita menjadi penceramah, muballigh, atau tokoh masyarakat, maka konsekuensinya adalah kita harus menjadi yang terdepan dalam menjalankan ketakwaan. Dengan begitu maka orang yang kita seru untuk menjalankan ketakwaan akan dengan mudah menerima dakwah kita.
Takwa adalah menjalankan semua perintah Allah swt. dan menjauhi segala larangan Allah. Orang yang bertakwa akan senantiasa mengikuti petunjuk dari Allah atas segala aspek kehidupan seraya berharap mendapatkan ridha dari Allah swt.
Setelah memerintahkan Nabi-Nya untuk bertakwa kepada Allah, yang juga menjadi kewajiban seluruh Umatnya. Allah melanjutkan ayat-Nya dengan frasa
ٱللَّهَ وَلَا تُطِعِ ٱلْكَٰفِرِينَ وَٱلْمُنَٰفِقِينَ
“dan janganlah kamu menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik”
Allah melarang Nabi-Nya untuk menuruti keinginan orang-orang kafir dan munafik. Hal ini mengisyaratkan bahwa sesungguhnya tekanan orang-orang kafir dan munafik di Madinah dan sekitarnya pada saat itu sangatlah keras terhadap Nabi dan orang-orang yang beriman. Maka arahan ini sangat dibutuhkan agar Rasulullah tidak terpengaruh oleh tipu daya orang-orang kafir dan munafik.[1] Apalagi perilaku orang-orang munafik yang senantiasa tidak bisa terdeteksi oleh umat Islam. Mereka secara dhahir menampakkan keislaman tapi di dalam lubuk hati mereka sangat membeci Islam. Sungguh sangat berbahaya keadaan orang munafik ini. Maka Allah melarang Nabi dan Umat Islam mengikuti kemauan orang-orang kafir dan munafik. Bahkan makna ayat tersebut bisa juga melarang kita untuk berdiskusi dengan mereka, menerima pendapat mereka atau bahkan jangan sampai kita minta nasihat dan saran dari mereka. Karena sejatinya mereka adalah musuh bagi kita yang selalu berusaha untuk menghancurkan agama Islam.
Menurut suatu riwayat dikisahkan bahwa ketika Rasulullah saw. datang ke Madinah, ada segolongan orang yahudi menjadi pengikutnya. Dengan hati munafik. Pada awalnya Rasulullah saw. bersikap lemah lembut kepada mereka dan mereka pun berpura-pura ikhlas kepada Nabi sebagai tipu muslihat belaka. Kemudian Allah memperingatkan Nabi agar bersikap hati-hati dan waspada terhadap mereka. Dan Allah juga memperingatkan bahwa mereka akan selalu memusuhi Nabi.[2]
Maka kita tidak boleh tertipu dengan prestasi yang dicapai orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Janganlah kita tertipu dengan kecerdasan mereka dibidang teknologi, ilmu pengetahuan, sains dan berbagai macam prestasi lainnya, meskipun saat ini belahan dunia Islam tertinggal dalam bidang itu. Karena sejatinya segala hal yang dibuat oleh orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu bisa melemahkan akidah umat Islam.
Kita ambil salah satu contoh misalnya media sosial, yang mana medsos sekarang dikembangkan oleh orang-orang kafir barat. Ketika kita cermati konten-konten yang mereka sajikan pasti bertentangan dengan syariat Islam. Betapa banyak konten-konten yang menghina Islam mereka tetap pertahankan. Disisi lain betapa banyak konten-konten yang berisi dakwah Islam mereka hapus dan diskreditkan.
Maka sikap kita sebagai orang yang berusaha untuk bertakwa semampu kita adalah bijak dalam memanfaatkan teknologi buatan mereka. Seraya kita bertawakal kepada Allah akan kehidupan kita yang saat ini dikuasai oleh orang-orang kafir dan munafik. Sehingga Allah mengakhiri ayat ini denga firman-Nya
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”
Allah mengetahui apa yang tersembunyi di dalam hati dan tujuan mereka dibalik sikap kepura-puraan mereka. Allah mengetahui pula niat buruk mereka yang tersimpan di dalam jiwa mereka. Dia Maha Bijaksana didalam mengatur urusan kehidupan ini. Oleh karena itu Dia adalah yang lebih pantas utuk ditaati perintah-perintah-Nya dan dijauhi segala larangan-larangan-Nya.
Ayat 2
وَٱتَّبِعْ مَا يُوحَىٰٓ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“dan ikutilah apa yang diwahyukan Tuhan kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Ahzab : 2)
Setelah perintah untuk taat dan larangan untuk mengikuti pendapat orang-orang munafik, Allah memerinahkan Nabi-Nya agar mengikuti apa yang diwahyukan kepadanya. Terkandung dalam ayat ini perintah untuk mengabaikan apa saja yang tidak berasal dari wahyu Allah. Kita wajib mengikuti arahan dari Allah yang berupa wahyu dari A sampai Z, tanpa disela dengan yang lainnya. Sebab jalan lurus itu hanyalah satu yaitu jalan Allah. Adapun jalan kafir dan munafik tidaklah bersumber dari wahyu ilahi, melainkan hanyalah pikiran manusia saja atau bahkan bersumber dari tipu daya syaithan.
Untuk meneguhkan perintah ini Allah mengakhiri ayat ini dengan frasa
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Seolah-olah Allah ingin meyakinkan dan memastikan seluruh Umat Islam menjalankan seluruh perintahnya tersebut. Karena jika kita tidak menjalankan perintah Allah, maka Allah sesungguhnya Maha Mengetahui segala apa yang dhahir dan batin, untuk kemudian memberikan balasan sesuai dengan janji yang ditetapkan-Nya.[3]
Selanjutnya Allah memerintahkan Nabi saw. agar bertawakkal kepada-Nya
Ayat 3
وَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ وَكِيلًا
“dan bertawakkallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pemelihara” (QS. Al-Ahzab : 3)
Setelah rangkaian perintah dan larangan yang begitu indah, kemudian Allah menyerukan untuk bertawakkal kepada-Nya. Artinya berserah diri sepenuhnya kepada keputusan Allah swt. dan jangan berpaling sedikitpun kepada selain-Nya dalam suatu perkara kehidupan. Janganlah kita terlalu khawatir terhadap tipu daya orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Kembalikanlah segala urusan kepada Allah swt. yakinlah bahwa jika Allah berkehendak memberikan manfaat buat kita, maka tiada seorangpun yang mampu menolaknya. Begitu juga jika Allah berkehendakk untuk memberikan kemudharatan kepada kita, tidak akan ada yang bisa mencegahnya. Nah, keyakinan ini jika diiringi dengan ketaatan kita untuk menjalankan syariat-Nya maka telah sempurnalah urusan kita. Artinya keyakinan atas petolongan Allah tidak serta merta menjadikan kita berpangku tangan atas tipu daya orang-orang kafir dan orang-orang munafik, tapi senantiasa kita berusaha menjalankan syariat yang telah diperintahkan untuk melawan tipu daya mereka. Bersamaan dengan itu kita bertawakkal kepada Allah swt.
[1] Quthb, Sayyid, Tafsir Fii Zhilalil Qur’an jilid 9, Gema Insani press, 2004, Jakarta, hlm.216
[2] Al-Maraghi, Ahmad Musthofa, Terjemah Tafsir Al-Maraghi jilid 21, PT Karya Toha Putra, Semarang,1922, hlm. 235
[3] Al-Maraghi, Ahmad Musthofa, Terjemah Tafsir Al-Maraghi jilid 21, PT Karya Toha Putra, Semarang,1922, hlm. 236